To be silent is the biggest art in a conversation

9 Jun 2008

Anak Korban Kekerasan


ANAK, begitu mendengar sebaris kata itu, alam jiwa kita akan mengawang dan terdampar pada sosok manusia mini yang labil dan bergantung kepada orang dewasa. Dalam perjalanan bathinnya dalam mencari jati diri dan eksistensinya, terkadang orang yang lebih dan dianggap dewasa tidak mempedulikan gerak geliat tersebut, dan cenderung mengabaikannya.

Berdasarkan Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi oleh Bangsa Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden No.36/1990 dalam Pasal 1 telah mendefinisikan anak sebagai manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun (18 tahun) kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku untuk anak-anak kedewasaan telah dicapai lebih cepat.

Dan dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) juga mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Sebagai makhluk yang sedang tumbuh dan berkembang serta mempunyai keunikan tersendiri serta kekhasan baik fisik maupun mental dan sangat bergantung terhadap pembinaan orang dewasa (tidak hanya keluarga) serta lingkungan dan pendidikan maupun budaya dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia pembangunan.

Keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak mendapat pendidikan yang pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil akan tetapi merupakan lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak, oleh karena itu keluarga mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan anak.

Untuk perkembangannya, anak tidak hanya membutuhkan pemenuhan yang bersifat biologi saja (makanan yang sehat dan gizi berimbang) tetapi ada kebutuhan lain yang pun harus terpenuhi yaitu kebutuhan akan cinta, kasih sayang, perhatian, dan cinta. Keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan anak begitu pula sebaliknya.

Apabila anak dibesarkan dalam lingkungan yang kurang menguntungkan, yaitu misalnya keluarga yang “broken home” yaitu keluarga yang struktur keluarga tersebut sudah tidak lengkap lagi, bisa disebabkan oleh beberapa hal, misalnya salah satu orang tua meninggal dunia, perceraian, atau salah satu atau kedua orang tuanya “tidak hadir” secara kontinu dalam tenggang waktu yang cukup lama.

Tentu saja hal ini akan dapat mempengaruhi perkembangan mental dan emosional anak. Kondisi lain keluarga yang tidak menguntungkan bagi anak adalah bahwa dalam masyarakat modern sering terjadi gejala adanya “broken home semu” atau “quasi broken home”, yaitu kedua orang tua masih utuh tetapi karena kesibukan masing-masing tidak sempat memberi perhatian terhadap pendidikan anak.

Tidak ada seorang anak pun di dunia ini yang bisa memilih keluarga mana yang bisa memberi dia kedamaian dan cinta. Keluarga sebagai masyarakat terkecil yang seharusnya memberikan penghormatan, penjagaan, pemberi kasih, pemberi cinta, tak jarang justru menjadi ruang yang tiba-tiba memberi luka dan air mata bagi anak-anak. Tak jarang menjadi pemutus masa depan anak yang masih panjang untuk dikejar dan digapai.

Sepertinya sudah tidak ada tempat yang aman yang dirasakan oleh seorang anak. Keluarga yang seharusnya memberikan kenyamanan dan kedamaian itupun kemudian berubah menjadi tempat yang teramat mengerikan bagi anak. Sebut saja: kasus kekerasan pada anak makin marak pada pemberitaan di media elektronik, dari kasus penyeterikaan terhadap anak, sampai dengan pelecehan seksual bahkan sampai dengan pembunuhan terhadap anak, yang notabenenya dilakukan oleh orang-orang terdekat dengan anak dan lebih ironis lagi tempat kejadiannya adalah di dalam rumah yang seharusnya memberikan rasa aman dan perlindungan terhadap anak.

Untuk di Lampung sendiri tingkat kekerasan yang dilakukan terhadap anak juga masih tinggi. Jika melihat catatan Children Crisis Centre (CCC)-Lampung sebagai lembaga mempunyai kepedulian terhadap hak anak, khususnya anak korban kekerasan sepanjang Januari hingga Desember 2007 telah merekam sebanyak 190 kasus kasus kekerasan terhadap anak dan 221 anak korban kekerasan. Kasus kekerasan tersebut meliputi kasus perkosaan, pencabulan, trafficking, penganiayaan, pembuangan bayi, penodongan/perampasan, pembegalan, pelarian gadis di bawah umur, sodomi, pembunuhan, trafiking, penjualan anak, dan aborsi. Dan dari data tersebut pelaku kekerasan yang tertinggi dilakukan oleh orang yang dikenal dan orang terdekat dengan korban.

Semua tindakan kekerasan terhadap anak akan direkam dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai pada masa mereka dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Jika anak mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya maka anak tersebut akan menjadi anak yang sangat agresif dan setelah mereka menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang agresif pula. Dengan sangat mengerikan peorang psikiater anak, Terry E. Lawson menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental (mental disorder) ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika masih kecil.

Dengan kata lain, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak akan melahirkan anak-anak yang menggunakan kekerasan sebagai cara yang digunakan untuk mengatasi setiap persoalan yang dihadapi oleh anak.
Akhirnya, anak-anak tersebut akan menjadi orang-orang yang berusia dewasa yang memperoleh kesenangan dengan melakukan tindakan kekerasan. Sebuah lingkaran setan yang berputar terus menerus. Dengan demikian bila biarkan tindakan kekerasan terhadap anak-anak itu berlangsung terus menerus, bila derita mereka tidak segera dihilangkan, maka kita akan dikejutkan dengan munculnya budaya kekerasan di tengah bangsa ini.

Jika kita tidak menginginkan akan munculnya generasi paranoid, sociopath, atau apapun sebutannya, tidak bisa di tawar lagi bahwa kekerasan terhadap anak harus dihentikan, sekarang. Perlu adanya usaha kolektif untuk memutus rantai lingkaran setan tindakan kekerasan terhadap anak tersebut.

Pada dasarnya kasih sayang merupakan kebutuhan pokok yang bersifat kejiwaan bagi setiap anak. Kebutuhan pokok tersebut menuntut pemenuhan sedini mungkin sebagai modal utama bagi perkembangan jiwa anak. Di dalam lingkaran keluarga pemenuhan rasa kasih sayang tersebut tercermin dalam pemeliharaan, perhatian, sikap toleran, dan kelemahlembutan dari kedua orang tua di dalam pergaulan intern keluarga.

Sebagai konsekuensi logis dari sebuah proses modernisasi “cermin” rasa kasih sayang tersebut mulai berkembang dan visualisasinya dapat berupa kesanggupan orang tua membekali pendidikan kepada anak-anaknya agar anak-anak tumbuh normal dan optimal sehingga pada gilirannya anak menjadi insan pembangunan masa depan dengan kwalitas sumber daya manusia seutuhnya yang diharapkan.

Sebagai negara peratifikasi KHA, adalah sebuah konsekwensi logis untuk mengakui dan memenuhi butir-butir hak anak yang terkandung di dalamnya, termasuk untuk perlindungan terhadap hak-hak tersebut. Sebagai implementasinya, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) Pasal 3, menyatakan perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaanya, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Pada hakekatnya masyarakat mempunyai peran terhadap perlindungan anak, selain itu Negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Pasal 19 KHA memberi ketentuan bahwa negara berkewajiban mengambil langkah-langkah: legislatif/perundang-undangan, administratif/kebijakan program, sosial dan pendidikan untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan mental, cidera atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara berada dalam asuhan orang tua, wali, atau orang lain yang memelihara anak.

Langkah-langkah perlindungan seperti itu termasuk prosedur-prosedur efektif dari diadakannya program social untuk memberi dukungan yang diperlukan kepada anak dan kepada mereka yang memelihara anak, dan bentuk-bentuk lain dari pencegahan dan untuk identifikasi, pelaporan, rujukan, pemeriksaan, perawatan, dan tindak lanjut dari kejadian perlakuan salah terhadap anak-anak yang diuraikan terdahulu, dan keterlibatan pengadilan..
Agar kita tidak kehilangan satu generasi akibat adanya “kejahatan” kekerasan terhadap anak, sudah barang tentu dibutuhkan adanya langkah komprehensif untuk mengatasinya.


Diperlukan proses pendidikan yang continuo untuk mensosialisasikan nilai-nilai demokratis dan penghargaan pada hak dan martabat anak. Penegakan Undang-Undang yang melindungi anak dari perlakuan yang sewenang-wenang orang dewasa mutlak diperlukan. Selain itu, perlu juga dibangun dan dioptimalkan lembaga-lembaga advokasi anak yang dapat menjadi tempat rujukan atau wadah berlindung bagi anak-anak korban kekerasan. Dan yang lebih penting adalah bahwa pemerintah seharusnya tidak menutup telinga dan mata terhadap jerit lirih derita anak-anak malang itu.

Engku Sartan


Tidak ada komentar: